perkenalkan saya #minZUC cowo paling ganteng di blog ini !! .
SELAMAT DATANG DI BASE WARRIORSJKT48
Selasa, 30 Oktober 2012

The Protector (Sang Pelindung)




            Waktu masih menunjukkan pukul 11.00 menjelang siang. Kelas saat itu sangat gaduh karena guru sejarah yang seharusnya mengisi pelajaran sedang berhalangan hadir. Kelas menjadi sangat tidak terkendali, para penghuni kelas membentuk kelompok-kelompoknya sendiri. Kulihat beberapa temanku asik bermain
games sepakbola dari laptop, beberapa cewek sibuk dengan arisannya, ada juga yang  sisanya tidur atau tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Aku sendiri kurang tertarik untuk bergabung dengan mereka, aku lebih memilih tetap di tempat duduk dan memperhatikan keluar jendela sembari mendengarkan musik dari ponselku melalui earphone. Bosan hanya memandang halaman sekolah di luar jendela, aku sesekali berbalik memperhatikan kelas yang tak karuan itu. “Masih tetap kacau dan berisik” gumamku dalam hati, mau tidur pun pasti tidak bisa.

            Aku kemudian mengarahkan pandanganku ke seorang gadis berambut pendek yang duduk sendirian di meja terdepan di baris ketiga kelasku. Ia tampak asik menggambar sesuatu atau mungkin sedang menulis sesuatu. Entahlah sedang apa dia, yang jelas dia tidak ikutan ngerumpi seperti yang cewek-cewek lain lakukan dan membuat kelas jadi tambah gaduh. Tanpa sadar cukup lama kuperhatikan dia. Mungkin sadar sedang diperhatikan dia menoleh ke arahku, lalu melemparkan senyumannya.

            Rizky Wiranti Dhike atau kami biasa memanggilnya Dhike. Dia anak yang pintar, berprestasi di sekolah, selalu masuk peringkat 5 besar sejak kelas satu serta sering diikutsertakan dalam lomba antar sekolah. Semua orang mengenalnya sebagai gadis manis yang periang dan baik hati. Dia tidak pilih-pilih berteman dan bergaul dengan siapa saja, mulai dari kalangan “selebritis sekolah” hingga anak-anak yang pendiam dan terkesan asosial (seperti aku). Senior maupun junior. Aku dan Dhike sendiri sudah sekelas sejak kelas satu hingga sekarang kelas dua.

            Dhike memang agak “spesial” bagiku, dia adalah satu-satunya gadis di sekolah yang bisa akrab denganku. Dahulu saat masa orientasi siswa, belum ada satupun teman yang kukenal, tapi saat itu dia datang duluan menghampiriku dan memperkenalkan diri. Sejak saat itu kami mulai berteman baik, walaupun tidak dekat. Aku memang tidak pandai bergaul dengan teman perempuan kecuali untuk urusan tugas sekolah atau ekstrakurikuler, tentu saja aku ini laki-laki normal, tapi mungkin itu bawaan sifatku sejak dulu yang lebih senang menyendiri.
            Dhike yang kukenal memang sangat baik dengan semua orang dan memiliki banyak teman. Sebuah kelebihannya, namun aku juga sedikit khawatir dengan kebaikannya itu, terkadang banyak yang memanfaatkan kebaikannya, seperti berandalan sekolah dan anak-anak 
stylish borjuis yang sering mendekatinya dengan memanfaatkan aset pribadinya. Dhike memang selalu mengelak atau memberi sinyal penolakan, tapi dia tidak juga menutup celah yang membuat orang-orang itu bebas mendekatinya. Hal ini yang aku khawatirkan sebagai temannya.

            Kegaduhan kelas siang itu berakhir ketika bel istirahat kedua berbunyi, pukul 11.53. Mereka yang tadinya asyik berbuat onar mulai beranjak pergi meninggalkan kelas. Kebanyakan pergi ke kantin atau lapangan basket. Aku pergi ke ruang guru di lantai bawah untuk menyerahkan tugas bahasa yang terlambat kukumpulkan. Selesai ijin keluar dari ruang guru, aku kembali ke kelasku. Aku menaiki anak tangga melewati ruang klub basket, dimana aku melihat seseorang bersama ketiga temannya sedan berbincang-bincang. Aku mengenalinya sebagai Jody, siswa kelas dua namun berbeda kelas denganku, dia termasuk siswa yang berprestasi di sekolah dan populer terutama di kalangan cewek-cewek kelewat gaul. Tahun ini dia baru saja terpilih sebagai kapten klub basket menggantikan senior yang membuatnya menjadi semakin tenar. Orang yang secara akademis berprestasi, namun sayangnya dia juga terkenal bejat di luar sekolah. Sudah menjadi rahasia umum tentang bagaimana pergaulannya di luar sekolah, party, alcohol, balapan jalanan dan segala hal buruk yang tidak tertarik kuketahui sudah sangat melekat dengannya. Mereka tampak membicarakan sesuatu di ruangan itu. Sadar ada yang aneh aku pun menguping pembicaraan mereka

“Jadi gimana Jod, elu sama si Dhike..”
“Iya, katanya lu bisa ngajak dia jalan, omdo doang lu”
“weits.. tenang bro, sore nanti habis pulang sekolah bakalan gw ajak dia keluar” ujar Jody tampak bersemangat.
“Itu cewek susah lo Jod” kata seorang temannya lagi. “Dia udah berkali-kali dideketin sama banyak cowok tapi belum ada juga yang berhasil”
“Tenang aja, gw ini lebih pinter dari dia. Kalo gw bilang mau ngajak dia ke kafe buat belajar bersama dia pasti gak akan nolak”. Ujar Jody dengan nada melecehkan. “Begitu udah sama gw, gak bakalan gw lepasin lagi, gw udah punya cara.. nih liat”
Aku mengintip dari luar, Jody tampak mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Ini efek telernya lebih kuat dari yang biasanya asal lu tau aja. Kalo udah kena ini dia gak bakal inget apa-apa lagi”
Tawa mereka meledak hingga keluar ruangan. Aku tidak percaya apa yang dikatakannya tadi. Dia berencana berbuat buruk kepada Dhike. “Dasar Brengsek” makiku dalam hati. Aku berusaha menahan diri untuk tidak melabrak masuk ke ruangan itu. Akhirnya aku meninggalkan tempat itu dan kembali ke kelas. Suasana kelas sedang lengang karena hampir semuanya sedang keluar, tapi Dhike masih ada di mejanya. Masih asik dengan pekerjaannya. Aku berdiri di depan pintu menatapnya sangat lama. Dia menyadari keberadaanku dan melemparkan senyuman manisnya, lalu menyapaku
“Hei.. “
“Kok diem aja di situ kayak patung? He he” dia tertawa. Rasanya sangat sejuk dipandang. Aku masih diam menatapnya. Sadar ada yang tidak beres Dhike kembali bersuara
“Vian, kamu kenapa? Sakit ya?”
Mendengarnya berkata seperti itu aku merubah sikap dan menjawab
“Ah.. enggak, aku gak apa-apa ke” Aku tersenyum kecil lalu beranjak menuju tempat dudukku.
“Sudah makan siang?”
“Ya. Tenang saja jangan khawatir”. Aku melanjutkan.
“Bagus deh kalo begitu. Jangan sampai sakit lho, karena tugas sekolah kita sedang banyak. He he he” Percakapan kami berhenti ketika Kinal teman sekelas kami berdua datang dan mengajaknya ke kantin.
“Aku ke kantin dulu ya, mau nitip sesuatu?” Tanyanya padaku.

Aku menggeleng. Dia beranjak dari tempat duduknya lalu pergi bersama Kinal. Sungguh suasana langka saat itu sangat menyentuh jika saja situasinya tidak sedang gawat terutama setelah apa yang kudengar di ruang klub basket tadi. Jody, si sialan, itu berencana berbuat busuk kepada Dhike, gadis baik-baik yang menjadi sahabat semua orang. Aku berpikir harus menghentikan rencana busuk itu sebelum jam pulang sekolah. Waktuku sangat sempit, aku harus pikirkan sesuatu. Bagaimanapun Dhike tidak boleh pergi dengan Jody.

                                                            -------
            Jam pelajaran terakhir adalah Bahasa Jepang, aku melihat waktu tinggal setengah jam lagi sekolah bubar. Pada saat itu aku mengangkat tangan minta ijin kepada guruku.
Sumimasen sensei, saya minta ijin ke toilet” Kataku setengah dalam bahasa Jepang.

            Setelah diijinkan aku langsung melesat keluar. Aku tidak ke toilet melainkan ke tempat parkiran motor. Aku perhatikan sekeliling, tidak ada Bapak Yadi, petugas keamanan sekolahku, ini kesempatan bagus. Aku mencari motor Jody, tidak sulit untuk menemukannya, aku memutuskan rantai motornya dan melubangi ban motornya dengan paku besi yang kucabut dari toilet sewaktu istirahat tadi. Untuk berjaga-jaga motor ketiga temannya yang ikut dalam pembicaraan tadi juga kulakukan hal yang sama. Selesai dengan itu aku membuang paku ke kloset kamar mandi dan mencuci tangan lalu segera kembali ke kelas. Ajaib, tidak ada seorang pun di tempat kejadian saat itu, sepertinya situasi sedang berpihak padaku.
            Sepulang sekolah aku mengajak Dhike pulang lewat pintu belakang sekolah dan menuju taman yang tidak jauh dari sekolah dengan alasan untuk membantuku membuat tugas ekstrakurikuler fotografi. Dia menyanggupinya dengan senang hati. Walaupun sudah berhasil menggagalkan rencana Jody dan gengnya tapi aku masih khawatir dengan Dhike, karena itu kupikir sebaiknya Dhike tidak terlihat oleh Jody.
                                                            ---------
            Tidak ada yang tau pasti bagaimana kronologis kejadian sepulang sekolah itu. Jody yang mengetahui ban motor sport kesayangannya berlubang dan rantainya diputus, menurut cerita yang kudengar  dia mengamuk, marah-marah seperti orang gila. Menurutnya itu perbuatan anak kelas satu yang benci kepadanya, siang itu dia menginterogasi hampir seluruh anak laki-laki di kelas satu, namun dia tidak mendapatkan apa-apa. Sepertinya sejauh ini masih aman dan aku tidak akan ketahuan.

            Namun di luar dugaan, salah satu temannya melihatku pergi pulang bersama Dhike lewat pintu belakang kemarin. Dua hari setelah kejadian, siang itu saat jam istirahat Jody mendatangiku di kelas, Dhike sedang tidak ada di kelas saat itu, sembari menendang mejaku dia berkata dengan wajah hanya sekitar sepuluh centi dariku.
“Elu ternyata emang doyan cari masalah ya? Apa maksud lu jalan bareng Dhike kemaren?” Dia kemudian mendorong ku hingga aku hampir terjatuh dari kursi.
Sepertinya dia salah mengerti soal Dhike dan yang terpenting dia belum mengetahui perbuatanku tempo hari itu kepada motornya. Aku diam saja tidak  memberikan respon. Aku malas berkelahi di dalam sekolah dan kemudian jadi bahan omongan. Aku beranjak dari kursi dan kemudian berkata
“Kalau elu mau menyelesaikan urusan ini datang saja ke taman di belakang sekolah sore ini, setelah sekolah bubar. Di sana tidak akan ada yang mengganggu, kita selesaikan dengan sepantasnya” Jawabku.
Jody nampak terkejut dengan jawaban bernanda menantang dariku itu. Ia tampak menahan marah dengan muka yang memerah dia berkata geram
“Oke!! Elu bakal gw habisin nanti!.”
                                                            --------------
            Sore itu di tempat yang sudah dijanjikan, Jody betul-betul datang. Bahkan tidak hanya dia seorang, beberapa temannya juga turut serta. Mereka tampak membawa balok kayu besar.
“Sial, mereka benar serius mau menghajarku ya” gumamku dalam hati.
“Ini adalah harga yang harus elu bayar atas perbuatan elu kemaren” Elu tau di sekolah gw lagi ngedeketin si Dhike, dan elu sengaja ngajak dia jalan siang itu. Sekarang rasain akibatnya”
Aku tertawa. Lalu kemudian menjawab
“Woi..Jod, untuk elu ketahui gw gak ada perasaan apa-apa sama Dhike. Kemaren dia cuma bantuin gw untuk ngelarin tugas fotografi....”
“Dan satu lagi... Yang ngelakuin semua itu, motor-motor itu gw adalah pelakunya. Gw yang bikin motor-motor lw pada rusak. Gw dengar apa yang elu coba rencanakan terhadap Dhike kemarin di ruang basket. Sebagai temennya gw gak akan biarkan itu terjadi!”

Jody terlihat sangat berang mendengarnya. Sumpah serapah dan kata-kata kotor terlontar bagaikan air bah. Amarahnya sudah memuncak dia maju menerjang dengan tinjunya, aku menghindar dengan sedikit menunduk lalu kulepaskan bogem mentah ke arah perutnya, tepat di ulu hati. Dia meringis kesakitan memegangi perutnya. Kumanfaatkan kesempatan ini untuk menghajar leher bagian belakang (salah satu bagian terlemah tubuh manusia), dia terjembab jatuh ke tanah.

            Teman-temannya yang membawa senjata ikut maju menyerangku secara bersamaan, dikeroyok lima orang bersenjata membuat ku kewalahan. Aku bertubi-tubi bertahan menerima pukulan balok kayu sembari sesekali melepaskan serangan balasan yang berusaha mencederai mereka. Pertarungan itu berlangsung tidak seimbang. Sore itu aku akhirnya memang babak belur dihajar mereka, akan tetapi Jody dan kelima temannya juga mendapatkan luka-luka yang cukup menyakitkan. Mereka pun meninggalkanku di taman itu.

            Hari sudah mulai gelap, aku duduk bersandar di sebuah pohon. Mencoba menghilangkan rasa sakit akibat luka-luka di sekujur tubuh. Beberapa tulangku seperti retak. Aku merasakan kepalaku mengeluarkan darah, darah yang keluar membasahi rambut ikal ku. Rasanya sangat sakit sekali. Namun jika dibandingakn rasa sakit perasaan akibat membiarkan orang yang dikasihi celaka, hal ini tentu lebih baik. Dalam keadaan seperti itu entah kenapa aku membayangkan senyuman manis Dhike, senyuman yang memberikan keteduhan pada jiwa yang memandangnya. Perhatiannya kepada semua orang, terutama aku yang jarang bergaul dengan orang lain. Ah, dia terlalu berharga untuk dihilangkan. Coba pikirkan lagi jika aku menghindari hal ini terjadi mungkin aku tidak akan bisa melihat senyuman itu lagi. Aku akan kehilangan sosok berharga itu, teman yang baik bagi semua orang. Semua orang menyayanginya dan semua akan kehilangannya. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Aku tidak menyesal!
                                                            -----------------
            Aku bersyukur perkelahianku dengan Jody beserta gengnya tidak menjadi bahan pembicaraan di sekolah. Tidak ada yang tahu kejadian sebenarnya hingga detik ini, para guru, teman-teman sekelasku, Dhike juga tidak tahu. Sejak saat itu Jody dan gengnya tidak pernah lagi bertemu denganku, sebaliknya aku sering menerima intimidasi lisan seperti yang terjadi siang ini di loker olahragaku yang dikirimi surat ancaman. Aku cuek saja, toh tidak merasa punya masalah. Justru intimidasi seperti itu menujukkan mereka segan padaku.
------------
            Berbulan-bulan pasca kejadian itu ancaman terhadap Dhike betul-betul belum usai. Beberapa berandalan senior mencoba mendekatinya, dan merencanakan hal busuk yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Aku pun kembali berkali-kali terlibat perkelahian demi melindungi Dhike, namun sebisa mungkin aku selalu menghindari alasan sebenarnya itu. Aku menyamarkan alasan ingin melindungi Dhike dengan berlagak menantang mereka berkelahi. Kuciptakan imej seolah-olah aku menantang para berandalan sekolah itu karena alasan pribadiku sendiri. Dengan begitu mereka akan kehilangan fokus terhaap Dhike. Kehidupan ku yang tadinya datar berubah menjadi medan pertempuran setiap hari dan setiap minggunya. Kadang disaat merasa sekarat aku kembali teringat alasanku sebenarnya, walhasil akupun selalu survive dalam setiap pertarungan.      
   
           Sampai saat ini Dhike juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Perhatiannya tidak juga berkurang. Setiap hari dia selalu menanyakan luka-luka yang kudapat, dan aku berbohong dengan mengatakan aku ikut klub beladiri di luar sekolah, dan luka-luka ini kudapat dari sana. Dia begitu mencemaskan keadaanku, namun aku tidak bisa biarkan dia mengetahui pertempuranku dengan para berandalan sekolah.

            Harus kuakui, melewati banyak perkelahian itu membuat perasaanku menjadi berubah padanya. Kadang rasa melindungi itu berubah menjadi rasa ingin memiliki, namun sebisa mungkin aku menahan diri setiap perasaan itu muncul dan berusaha kuhilangkan. Tidak bisa kubiarkan hasrat pribadiku merusak hubungan persahabatan kami. Aku ingin membiarkan semuanya tetap menjadi rahasia. Menjadi sang protektor dalam bayangan, yang melindunginya di setiap ancaman kegelapan malam kurasa hal itu sudah cukup. Biarlah dia tidak perlu mengetahuinya sampai suatu saat dia sendiri yang akan menentukan siapa yang berhak melindunginya.


AlvianD
Twitter :
#minRA